Selasa, 03 Agustus 2010

Part 7

Seperti biasa, hal pertama yang aku lakukan sesampai di apartemen adalah menyalakan AC dengan derajat paling rendah. Aku tak peduli walaupun apartemen sederhanaku akan menjadi lemari pendingin. Toh aku sudah melakukannya tiap hari sejak musim panas berlangsung dan tak terjadi apapun dengan suhu apartemenku. Kuletakkan tas kerja dan beberapa berkas di atas meja.

Apartemenku agak jauh dengan kantor polisi, sehingga mau tak mau aku harus berangkat sejam sebelum waktu yang ditentukan untuk menghindari kemacetan karena jam pulang kantor. Kulirik jam dinding persegi di ruang tamu dan melengos.
Bagus, sekarang sudah jam setengah enam petang. gumamku sambil membuka jaket dan masuk ke dalam kamar mandi, menyegarkan diriku sejenak di tengah panasnya kehidupan.

Lima menit sebelum jam enam aku keluar dari apartemen dan menuju basement tempatku memarkir mobil. Suasana menjadi berbeda ketika kulajukan mobil keluar dari basement, hari sudah gelap, pemandangan semarak dengan lampu disana-sini. Kemacetan sudah mulai terlihat, kuputuskan untuk melajukan mobil secepatnya namun masih mematuhi etika berkendara.

Kantor Polisi Arporiett, 100 meter.

Aku membaca papan penunjuk jalan dan berbelok ke arah jalan yang ditunjuk. Kulirik jam di dashboard mobil, 06.53 p.m. Semoga aku tepat waktu karena aku masih harus menemukan Kedai Kopi yang dimaksud detektif itu. Setelah melewati kantor polisi, lima detik kemudian aku melihat papan bertuliskan ‘Kedai Kopi Rain’. Ternyata kedai kopi itu benar-benar di samping kantor polisi. Aku parkir di samping trotoar karena kedai itu tepat di samping jalan besar, tak ada lahan parkir khusus disana.

Dengan ragu aku melangkah masuk. Seingatku, ketika terakhir kali aku ke kantor polisi, kedai ini masih sebuah rumah kecil tua yang tak terurus. Yah, tiga bulan cukup membuat banyak perubahan di kota kecil ini. Aku melangkah ke meja pemesanan, seorang wanita muda sedang melayani pelanggan pria dan wanita berseragam.

“Selamat malam. Mau pesan apa?” sapanya ketika tiba giliranku. Aku melirik ke daftar menu yang digantung di langit-langit.
“Cappucino hangat.” balasku.

Aku mengeluarkan beberapa lembar koin dan membayar pesananku. “Kau tahu seorang detektif bernama Mills Jeroem?” tanyaku ke alasan utama mengapa aku memesan.
“Oh, si tampan itu. Ia belum da— Ah, itu dia!” Pelayan berambut pirang ini menunjuk ke arah lelaki yang baru masuk ke kedai. Aku tak percaya ketika melihatnya, detektif ini jauh dari perkiraanku bila mendengar suara berwibawanya di telepon. Badannya tegap dan tinggi, seratus delapan puluh sentimeter kukira. Wajahnya terlihat masih berusia awal tiga puluhan, berahang kokoh. Beda jauh dengan gambaran seorang detektif tua gendut saat meneleponku.
“Ini pesananmu, terima kasih.”
“Sama-sama.” balasku.

Aku berjalan menuju meja tempat ia duduk dan berdiri di depannya. Ia menyulut rokok sambil menatapku, curiga.

“Mills Jeroem?” tanyaku.
“Ya.”
“Saya Montreo Dinan.” Seketika lelaki itu mengamatiku lekat-lekat, mulai dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Ia menghembuskan karbon dari bibirnya.
“Kau masih delapan belas tahun?”

Aku melengos, sudah kuduga pertanyaannya akan seperti itu, pertanyaan yang dilontarkan oleh dua puluh satu orang lainnya ketika baru bertemu denganku.
“Itu umur saya empat tahun lalu.” jawabku ramah. Ia terlihat terkejut namun segera dapat menguasai rasa ingin tahunya untuk bertanya apakah aku bercanda. Ia malah mempersilahkan aku duduk tanpa mengatakan apapun.

“Apa alasan anda bertemu dengan saya?” tanyaku langsung. Ia menghembuskan asap rokok lagi.
“Keadaan dari saksi sekaligus korban. Polisi tidak diperkenankan bolak-balik ke Rumah Sakit itu.”
“Oh, ya. Ia masih histeris. Menurut dr. Morgan, ia mengalami trauma serius. Kurasa sampai beberapa hari ke depan ia belum pulih.”
“Bagus. Dengan begitu kasus ini dianggap tak memiliki saksi.” Jeroem melonggarkan dasinya. “Untuk apa kau datang ke rumah Dena Sarchuler?”

Aku berdehem. Tidak mengejutkan bagiku bila ia sampai tahu kedatanganku. Pasti para polisi disana adalah unitnya.
“Saya hanya mengkonfirmasi pemohon perlindungan. Anda tahu, itu bagian dari prosedur.”
“Oh.”

Aku menatapnya masam. Nada bicaranya yang mengucapkan ‘Oh’ itu terdengar ambigu bagiku. Dan aku tidak begitu menyukainya.

Ponsel milik detektif bermata hazel itu berdering, mencairkan keheningan canggung. Ia mengatakan ‘ya’ berulangkali sebelum akhirnya mengatakan ‘aku segera kesana’ selama pembicaraan. Ia menatapku lama setelah menutup telepon.

“Sadar atau tidak, kasus pembunuhan tidak biasa bagi kota ini. Kepala Polisi Bagian Pembunuhan menyerahkan kasus ini padaku dan aku mau kau bekerjasama denganku. Jadi, selalu kabari aku mengenai keadaan saksi. Kau mengerti?”

Aku mengangguk, menyertai kepergiannya yang begitu tergesa.

Part 6

“Treo, tadi seseorang menghubungimu—” sapa Sabrine ketika baru saja aku tiba di kantor. Ia menunjuk ke arah mejaku yang berantakan. “—karena berisik, aku mengangkatnya, nomornya ada di mejamu.”
“Oh.” Aku melirik ke arah meja, ada selembar catatan berisi angka-angka disana. “Thanks.”

Aku mengambil catatan itu dan segera menghubungi nomor di atasnya. Sambil menunggu balasan dari seberang telepon, aku mencoba membereskan berkas-berkas yang menumpuk.

“Halo.” Terdengar suara lelaki tegas menyapa.
“Saya Montreo Dinan. Apakah tadi anda menghubungi saya?”
“Ya. Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan.”
“Baik. Sebelumnya dengan siapa saya bicara?”
“Mills Jeroem, Detektif Bagian Pembunuhan. Datanglah ke Kedai Kopi Rain samping kantor Polisi jam tujuh malam ini.”

Belum sempat membalas pernyataanya, nada panggilan berakhir mengiang di telingaku.
Dasar detektif. Aku melirik jam tangan, pukul 05.05 sore.
Waktunya pulang.

Senin, 02 Agustus 2010

Part 5

Dari Rumah Sakit Anak tempat Gred bekerja kira-kira satu jam tanpa macet rumah itu berdiri. Aku mengamati rumah bercat putih itu sesaat dan melihat keadaan sekitar, tak ada tetangga dekat di sekeliling. Hanya ada beberapa rumah yang terletak enam sampai sepuluh meter dari rumah minimalis ini. Kukeluarkan catatan saku dan memeriksa alamatnya. Setelah yakin sampai di tujuan yang benar, aku memberanikan diri untuk menghampirinya.

Seorang wanita muda, kira-kira usianya masih kepala dua tiba-tiba keluar dari rumah sambil membawa plastik hitam besar kemudian ia meletakkan plastik tersebut ke dalam tong sampah yang ada di depan rumahnya. Seketika aku mendekatinya sebelum ia masuk kembali ke dalam rumah.

“Dena Sarchuler?” Wanita itu memandangku dan menjawab dengan sebuah pertanyaan. “Ya?”
“Saya Montreo Dinan, dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Bisa minta waktu anda sebentar?” balasku sambil menunjukan kartu identitas yang menggantung di saku kemeja. Dena mengangguk dan mengajakku masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti langkahnya sambil melihat-lihat bangunan tua ini.
“Bir?” tanyanya sambil menunjukkan ruang tamu padaku. Aku menggeleng sambil tersenyum.
“Terima kasih, saya hanya sebentar.”

Wanita berparas elok ini duduk di seberangku. Kedua mata hijaunya menatap catatan yang kubawa. “Bagaimana keadaan Reff?” tanyanya.
“Masih trauma. Psikiater anak sedang membantunya untuk pulih.”
Dena menutup mata dan menghela nafas. Kemudian ia terdiam, kedua matanya terlihat nanar.
“Saya sudah membaca semua berkas dari kepolisian tentang kasus ini. Saya mengerti bila semua ini berat untuk anda, tapi ada beberapa pertanyaan yang hendak saya ajukan. Anda tidak keberatan?”
Dena menggeleng, membuat rambut sebahunya terayun.
“Sejak kapan anda pindah kemari?”
“Saya tidak pindah. Saya menjemput Reff untuk berlibur di rumah sepupu ayah di Wina. Reff baru lulus sekolah dasar dan orangtua saya tak bisa ikut merayakan.”

Aku mengangguk dan menulis di catatanku. Walaupun zaman sudah modern, aku masih memilih kertas dan pensil untuk mencatat semua dataku.
“Baiklah, anda mendaftarkan adik anda ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Apa alasan anda mendaftarkannya?”
Dena hanya memandangku, kemudian ia memandang bahu kirinya yang sedaritadi ada dalam gendongan. Sedetik kemudian ia menyodorkan tangan kanannya ke arahku. “Anda bisa lihat?”

Aku memandang ke arah tangan kanannya, terlihat bekas luka gesekan yang baru sembuh di sekitar sikut sampai bawah lengannya.
“Jatuh?” tanyaku tak yakin. Ia mengangguk.
“Saat kejadian itu saya sedang belanja ke swalayan dekat rumah. Ketika hendak pulang, sebuah jeep nyaris menabrak saya. Saya segera menghindar, namun kaca spion jeep itu mengenai wajah saya sehingga saya terjatuh.”
“Kelalaian pengemudi jeep?”

Spontan wanita ini menggeleng, membuatku agak terkejut. Jemari kanannya mengepal, seolah hendak memukul sesuatu. “Saya berjalan di sisi jalan, memang tak ada trotoar tapi saya sangat berhati-hati. Warga setempat yang menolong saya mengatakan bahwa mobil itu tiba-tiba melaju kencang ke arah saya.”
“Berapa saksi yang berkata seperti itu?” balasku sambil mencatat lagi.
“Empat orang dari empat saksi.”

Aku menghentikan jemariku yang sibuk menulis. “Apa anda masih sadar sesaat setelah ditabrak?”
“Saya pingsan dan ditolong warga. Seorang warga menelepon ke rumah untuk memberitahu kabar saya. Katanya, Reff yang mengangkat telepon sambil menangis dan mengatakan orangtua kami berlumuran darah.”

Aku menutup catatan dan memasukannya ke saku kemeja. “Itu sangat buruk.”
“Itu tidak seberapa. Seseorang menembak saya ketika proses pemakaman orangtua kami nyaris selesai.”
“Itu sebabnya bahu kiri anda..”
Dena mengangguk. “Baru kemarin siang saya dipulangkan dari Rumah Sakit.” Ia terdiam sejenak, “Aku sudah menceritakan semuanya ke polisi.”

Aku tersenyum mengerti, “Saya tidak bermaksud menginterogasi anda. Pekerjaan saya berbeda dengan polisi. Baiklah, saya rasa cukup untuk hari ini. Terima kasih atas waktu anda. Oh, dan ini kartu nama saya, anda bisa menghubungi saya bila ingin menanyakan keadaan adik anda.” Aku menyodorkan selembar kartu nama padanya. Ia melihat sebentar dan menyodorkan tangan kanannya padaku.
“Saya turut berdukacita.” Kusambut jemarinya dan kuayun pelan.
“Terima kasih, saya sangat menghargainya.”

Saat berjalan ke arah mobil, aku sadar bahwa sedari tadi ada yang mengawasi gerak-gerikku. Kedua mataku memandang berkeliling dan walaupun aku tak tahu dimana posisi mereka mengawasi, aku yakin pelakunya adalah beberapa polisi berpakaian kasual yang sedang melindungi Dena Sarchuler dari pelaku pembunuhan.

Sekali lagi aku membuka catatan ketika baru sampai ke dalam mobil, kuamati informasi apa yang sudah kuperoleh untuk hari ini. Nafas berat kuhembuskan dan kututup kembali catatanku sebelum memutuskan untuk kembali ke kantor.

Part 4

“Ini hasil X-ray tangan kirinya. Kau lihat bagian ini?” Gred menunjuk ke foto rontgen sebuah retakan tipis di bagian pergelangan tangan. Aku mengangguk.
“Retakan ini memang tak begitu serius bagi tulangnya, tapi bagi syaraf-syaraf yang melekat, bisa terjadi hal yang kompleks. Dan kau tahu, rasa sakitnya cukup membuat anak sekecil dia tersiksa.” lanjut Gred sambil mematikan lampu pembaca rontgen lalu membuka sebuah map merah di mejanya.
“Kira-kira butuh waktu sebulan agar gips di tangannya bisa dibuka, yah untung saja ini fraktura ringan.” Gred menyodorkan beberapa lembar foto berukuran 4x6. “Polisi menyuruh beberapa perawat jaga untuk mengambil gambar tangannya.”

Sembari menahan nafas aku mengamati foto-foto itu. Terlalu banyak luka sayatan di kedua telapak pucat itu. Mataku mengamati foto lain dan tak ada yang bisa kuucapkan ketika melihat ujung-ujung jemari tangan yang kulitnya terkelupas bahkan ada kuku jari manis yang terkelupas dalam.
“Ia menggigit jemarinya sendiri?” tanyaku sambil mengamati foto jemari lentik dengan kuku yang masing-masing tidak rata. Gred bersandar pada kursinya sambil mengangguk.
Self Harm. Hanya ketika ketakutan ia melakukannya. Kau tau, sebagai wujud rasa depresi. Foto ini diambil dua jam setelah ia datang, saat ia terlelap tentunya.”

Aku membereskan dua belas lembar foto tadi dan memasukkan ke sebuah amplop coklat yang sudah jadi wadahnya. “Boleh kubawa?”
“Oh, ya. Untukmu saja, aku masih punya data digitalnya.”
“Thanks.” kataku sambil mengambil jaket kulit. “Aku harus ke tempat lain sekarang.” Aku menyodorkan tangan ke arah Gred. Ia mengambil tanganku seperti hendak bermain panco dan meremasnya. “Jangan segan-segan jiga kau butuh bantuan, deal?”
“Kalau begitu terus kabari aku mengenai kemajuannya.”
“Tak masalah buatku.” Gred mengantar sampai depan pintu ruangan. Aku berjalan mundur menjauhinya. “Oh ya, sampaikan salamku untuk Tim dan Susan.”
“Well, Susan menyuruhku untuk mengundangmu makan malam. Dasar gadis. Semoga ia tidak tergila-gila padamu.” sahut Gred.

Aku hanya tersenyum kemudian berbalik meninggalkan Gred menuju sebuah elevator. Di dalam elevator sepi aku bergumam sendiri, menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi pada klienku, Reff.
“Tangan kiri patah, beberapa luka sayat, bekas gigitan di jemari. Kasus penyiksaan anak? Kalau begitu siapa pelakunya?”

‘TING!’ Suara pertanda elevator berhenti membuyarkan analisisku. Aku berjalan meninggalkan gedung angkuh ini sambil menjinjing jaket kulit dan sebuah amplop di tangan kiri. Keringat langsung mengucur dari keningku ketika sampai di depan chevrolet perak yang kuparkir di bawah pohon rindang. Sungguh, cuaca sangat tak bersahabat. Kuputuskan untuk segera masuk ke mobil dan menuju tempat selanjutnya.