Rabu, 15 September 2010

Part 8

Sambil menunggu lampu hijau menyala, kusempatkan untuk membuka map yang belum kupelajari. Aku melihat foto klienku yang terselip rapi dan berpikir sungguh malang nasibnya. Dua tahun berkarir, tapi baru kali ini aku menangani seorang anak laki-laki. Berusia dibawah lima belas tahun.

Drrt! Drrt! Drrt! Ponselku bergetar saat lampu merah sudah berganti. Aku mengangkatnya ketika melihat nama Gred di LCD.

“Ya, Gred”
“Treo, kau harus ke kantorku sekarang.”
“Hei, ada apa?”
“Sesuatu terjadi pada Reff, akan kujelaskan ketika kau sampai.”
“Ok, aku segera kesana.” Aku mematikan ponsel dan berbalik arah. Jalanan sepi malam ini.

Tak makan waktu banyak untuk sampai di Rumah Sakit Anak tempat Reff menjalani terapi. Namun tetap saja, aku berjalan sambil berlari meninggalkan parkiran gedung angkuh itu.

“Gred” ujarku sambil membuka pintu kantornya tanpa permisi. Pria paruh baya itu sedang memeriksa suatu map ketika aku muncul di kantornya.

“Oh, kau sudah datang.” Ia meletakkan map itu dan berjalan menghampiriku. “Kau harus melihat apa yang ia lakukan setengah jam yang lalu. Ikut aku.”

“Apa dia histeris lagi?”

Gred menggeleng sambil menutup pintu kantornya, “Tidak. Entahlah, ia seperti membuat suatu pesan.”

“Pesan apa? Dimana ia sekarang?”

Gred memandangku dengan raut wajah serius, “Kau harus melihat kamarnya. Sekarang ia dirawat sementara di ruang lain.”

Aku merasa ada hal tak wajar telah terjadi, melihat Gred terdiam selama kami berjalan ke kamar tempat Reff dirawat. Gred membuka pintu kamar Reff dan firasatku semakin tak enak ketika kamar itu kosong. Sebagai gantinya, mataku melihat suatu tulisan yang hampir memenuhi tembok dari crayon merah, terpampang di dinding sebelah ranjang. Aku mencoba membaca tulisan-tulisan panjang yang ditulis dengan huruf kapital itu dan tak mempercayai mataku.

J P A S A V I G B E M Y S I O L R S T C D N E R S L A—

“Apa ini?” Aku berjongkok untuk melihat keseluruhan kalimat yang tak beraturan itu.
“Baca akhirnya.” ujar Gred. Aku menurut dan seketika menyesal membacanya.

—S I Q Z A V E Y U L H O C T F U R S E J E R L F.
T R EO

Selasa, 03 Agustus 2010

Part 7

Seperti biasa, hal pertama yang aku lakukan sesampai di apartemen adalah menyalakan AC dengan derajat paling rendah. Aku tak peduli walaupun apartemen sederhanaku akan menjadi lemari pendingin. Toh aku sudah melakukannya tiap hari sejak musim panas berlangsung dan tak terjadi apapun dengan suhu apartemenku. Kuletakkan tas kerja dan beberapa berkas di atas meja.

Apartemenku agak jauh dengan kantor polisi, sehingga mau tak mau aku harus berangkat sejam sebelum waktu yang ditentukan untuk menghindari kemacetan karena jam pulang kantor. Kulirik jam dinding persegi di ruang tamu dan melengos.
Bagus, sekarang sudah jam setengah enam petang. gumamku sambil membuka jaket dan masuk ke dalam kamar mandi, menyegarkan diriku sejenak di tengah panasnya kehidupan.

Lima menit sebelum jam enam aku keluar dari apartemen dan menuju basement tempatku memarkir mobil. Suasana menjadi berbeda ketika kulajukan mobil keluar dari basement, hari sudah gelap, pemandangan semarak dengan lampu disana-sini. Kemacetan sudah mulai terlihat, kuputuskan untuk melajukan mobil secepatnya namun masih mematuhi etika berkendara.

Kantor Polisi Arporiett, 100 meter.

Aku membaca papan penunjuk jalan dan berbelok ke arah jalan yang ditunjuk. Kulirik jam di dashboard mobil, 06.53 p.m. Semoga aku tepat waktu karena aku masih harus menemukan Kedai Kopi yang dimaksud detektif itu. Setelah melewati kantor polisi, lima detik kemudian aku melihat papan bertuliskan ‘Kedai Kopi Rain’. Ternyata kedai kopi itu benar-benar di samping kantor polisi. Aku parkir di samping trotoar karena kedai itu tepat di samping jalan besar, tak ada lahan parkir khusus disana.

Dengan ragu aku melangkah masuk. Seingatku, ketika terakhir kali aku ke kantor polisi, kedai ini masih sebuah rumah kecil tua yang tak terurus. Yah, tiga bulan cukup membuat banyak perubahan di kota kecil ini. Aku melangkah ke meja pemesanan, seorang wanita muda sedang melayani pelanggan pria dan wanita berseragam.

“Selamat malam. Mau pesan apa?” sapanya ketika tiba giliranku. Aku melirik ke daftar menu yang digantung di langit-langit.
“Cappucino hangat.” balasku.

Aku mengeluarkan beberapa lembar koin dan membayar pesananku. “Kau tahu seorang detektif bernama Mills Jeroem?” tanyaku ke alasan utama mengapa aku memesan.
“Oh, si tampan itu. Ia belum da— Ah, itu dia!” Pelayan berambut pirang ini menunjuk ke arah lelaki yang baru masuk ke kedai. Aku tak percaya ketika melihatnya, detektif ini jauh dari perkiraanku bila mendengar suara berwibawanya di telepon. Badannya tegap dan tinggi, seratus delapan puluh sentimeter kukira. Wajahnya terlihat masih berusia awal tiga puluhan, berahang kokoh. Beda jauh dengan gambaran seorang detektif tua gendut saat meneleponku.
“Ini pesananmu, terima kasih.”
“Sama-sama.” balasku.

Aku berjalan menuju meja tempat ia duduk dan berdiri di depannya. Ia menyulut rokok sambil menatapku, curiga.

“Mills Jeroem?” tanyaku.
“Ya.”
“Saya Montreo Dinan.” Seketika lelaki itu mengamatiku lekat-lekat, mulai dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Ia menghembuskan karbon dari bibirnya.
“Kau masih delapan belas tahun?”

Aku melengos, sudah kuduga pertanyaannya akan seperti itu, pertanyaan yang dilontarkan oleh dua puluh satu orang lainnya ketika baru bertemu denganku.
“Itu umur saya empat tahun lalu.” jawabku ramah. Ia terlihat terkejut namun segera dapat menguasai rasa ingin tahunya untuk bertanya apakah aku bercanda. Ia malah mempersilahkan aku duduk tanpa mengatakan apapun.

“Apa alasan anda bertemu dengan saya?” tanyaku langsung. Ia menghembuskan asap rokok lagi.
“Keadaan dari saksi sekaligus korban. Polisi tidak diperkenankan bolak-balik ke Rumah Sakit itu.”
“Oh, ya. Ia masih histeris. Menurut dr. Morgan, ia mengalami trauma serius. Kurasa sampai beberapa hari ke depan ia belum pulih.”
“Bagus. Dengan begitu kasus ini dianggap tak memiliki saksi.” Jeroem melonggarkan dasinya. “Untuk apa kau datang ke rumah Dena Sarchuler?”

Aku berdehem. Tidak mengejutkan bagiku bila ia sampai tahu kedatanganku. Pasti para polisi disana adalah unitnya.
“Saya hanya mengkonfirmasi pemohon perlindungan. Anda tahu, itu bagian dari prosedur.”
“Oh.”

Aku menatapnya masam. Nada bicaranya yang mengucapkan ‘Oh’ itu terdengar ambigu bagiku. Dan aku tidak begitu menyukainya.

Ponsel milik detektif bermata hazel itu berdering, mencairkan keheningan canggung. Ia mengatakan ‘ya’ berulangkali sebelum akhirnya mengatakan ‘aku segera kesana’ selama pembicaraan. Ia menatapku lama setelah menutup telepon.

“Sadar atau tidak, kasus pembunuhan tidak biasa bagi kota ini. Kepala Polisi Bagian Pembunuhan menyerahkan kasus ini padaku dan aku mau kau bekerjasama denganku. Jadi, selalu kabari aku mengenai keadaan saksi. Kau mengerti?”

Aku mengangguk, menyertai kepergiannya yang begitu tergesa.

Part 6

“Treo, tadi seseorang menghubungimu—” sapa Sabrine ketika baru saja aku tiba di kantor. Ia menunjuk ke arah mejaku yang berantakan. “—karena berisik, aku mengangkatnya, nomornya ada di mejamu.”
“Oh.” Aku melirik ke arah meja, ada selembar catatan berisi angka-angka disana. “Thanks.”

Aku mengambil catatan itu dan segera menghubungi nomor di atasnya. Sambil menunggu balasan dari seberang telepon, aku mencoba membereskan berkas-berkas yang menumpuk.

“Halo.” Terdengar suara lelaki tegas menyapa.
“Saya Montreo Dinan. Apakah tadi anda menghubungi saya?”
“Ya. Ada beberapa hal yang ingin saya bicarakan.”
“Baik. Sebelumnya dengan siapa saya bicara?”
“Mills Jeroem, Detektif Bagian Pembunuhan. Datanglah ke Kedai Kopi Rain samping kantor Polisi jam tujuh malam ini.”

Belum sempat membalas pernyataanya, nada panggilan berakhir mengiang di telingaku.
Dasar detektif. Aku melirik jam tangan, pukul 05.05 sore.
Waktunya pulang.

Senin, 02 Agustus 2010

Part 5

Dari Rumah Sakit Anak tempat Gred bekerja kira-kira satu jam tanpa macet rumah itu berdiri. Aku mengamati rumah bercat putih itu sesaat dan melihat keadaan sekitar, tak ada tetangga dekat di sekeliling. Hanya ada beberapa rumah yang terletak enam sampai sepuluh meter dari rumah minimalis ini. Kukeluarkan catatan saku dan memeriksa alamatnya. Setelah yakin sampai di tujuan yang benar, aku memberanikan diri untuk menghampirinya.

Seorang wanita muda, kira-kira usianya masih kepala dua tiba-tiba keluar dari rumah sambil membawa plastik hitam besar kemudian ia meletakkan plastik tersebut ke dalam tong sampah yang ada di depan rumahnya. Seketika aku mendekatinya sebelum ia masuk kembali ke dalam rumah.

“Dena Sarchuler?” Wanita itu memandangku dan menjawab dengan sebuah pertanyaan. “Ya?”
“Saya Montreo Dinan, dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Bisa minta waktu anda sebentar?” balasku sambil menunjukan kartu identitas yang menggantung di saku kemeja. Dena mengangguk dan mengajakku masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti langkahnya sambil melihat-lihat bangunan tua ini.
“Bir?” tanyanya sambil menunjukkan ruang tamu padaku. Aku menggeleng sambil tersenyum.
“Terima kasih, saya hanya sebentar.”

Wanita berparas elok ini duduk di seberangku. Kedua mata hijaunya menatap catatan yang kubawa. “Bagaimana keadaan Reff?” tanyanya.
“Masih trauma. Psikiater anak sedang membantunya untuk pulih.”
Dena menutup mata dan menghela nafas. Kemudian ia terdiam, kedua matanya terlihat nanar.
“Saya sudah membaca semua berkas dari kepolisian tentang kasus ini. Saya mengerti bila semua ini berat untuk anda, tapi ada beberapa pertanyaan yang hendak saya ajukan. Anda tidak keberatan?”
Dena menggeleng, membuat rambut sebahunya terayun.
“Sejak kapan anda pindah kemari?”
“Saya tidak pindah. Saya menjemput Reff untuk berlibur di rumah sepupu ayah di Wina. Reff baru lulus sekolah dasar dan orangtua saya tak bisa ikut merayakan.”

Aku mengangguk dan menulis di catatanku. Walaupun zaman sudah modern, aku masih memilih kertas dan pensil untuk mencatat semua dataku.
“Baiklah, anda mendaftarkan adik anda ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Apa alasan anda mendaftarkannya?”
Dena hanya memandangku, kemudian ia memandang bahu kirinya yang sedaritadi ada dalam gendongan. Sedetik kemudian ia menyodorkan tangan kanannya ke arahku. “Anda bisa lihat?”

Aku memandang ke arah tangan kanannya, terlihat bekas luka gesekan yang baru sembuh di sekitar sikut sampai bawah lengannya.
“Jatuh?” tanyaku tak yakin. Ia mengangguk.
“Saat kejadian itu saya sedang belanja ke swalayan dekat rumah. Ketika hendak pulang, sebuah jeep nyaris menabrak saya. Saya segera menghindar, namun kaca spion jeep itu mengenai wajah saya sehingga saya terjatuh.”
“Kelalaian pengemudi jeep?”

Spontan wanita ini menggeleng, membuatku agak terkejut. Jemari kanannya mengepal, seolah hendak memukul sesuatu. “Saya berjalan di sisi jalan, memang tak ada trotoar tapi saya sangat berhati-hati. Warga setempat yang menolong saya mengatakan bahwa mobil itu tiba-tiba melaju kencang ke arah saya.”
“Berapa saksi yang berkata seperti itu?” balasku sambil mencatat lagi.
“Empat orang dari empat saksi.”

Aku menghentikan jemariku yang sibuk menulis. “Apa anda masih sadar sesaat setelah ditabrak?”
“Saya pingsan dan ditolong warga. Seorang warga menelepon ke rumah untuk memberitahu kabar saya. Katanya, Reff yang mengangkat telepon sambil menangis dan mengatakan orangtua kami berlumuran darah.”

Aku menutup catatan dan memasukannya ke saku kemeja. “Itu sangat buruk.”
“Itu tidak seberapa. Seseorang menembak saya ketika proses pemakaman orangtua kami nyaris selesai.”
“Itu sebabnya bahu kiri anda..”
Dena mengangguk. “Baru kemarin siang saya dipulangkan dari Rumah Sakit.” Ia terdiam sejenak, “Aku sudah menceritakan semuanya ke polisi.”

Aku tersenyum mengerti, “Saya tidak bermaksud menginterogasi anda. Pekerjaan saya berbeda dengan polisi. Baiklah, saya rasa cukup untuk hari ini. Terima kasih atas waktu anda. Oh, dan ini kartu nama saya, anda bisa menghubungi saya bila ingin menanyakan keadaan adik anda.” Aku menyodorkan selembar kartu nama padanya. Ia melihat sebentar dan menyodorkan tangan kanannya padaku.
“Saya turut berdukacita.” Kusambut jemarinya dan kuayun pelan.
“Terima kasih, saya sangat menghargainya.”

Saat berjalan ke arah mobil, aku sadar bahwa sedari tadi ada yang mengawasi gerak-gerikku. Kedua mataku memandang berkeliling dan walaupun aku tak tahu dimana posisi mereka mengawasi, aku yakin pelakunya adalah beberapa polisi berpakaian kasual yang sedang melindungi Dena Sarchuler dari pelaku pembunuhan.

Sekali lagi aku membuka catatan ketika baru sampai ke dalam mobil, kuamati informasi apa yang sudah kuperoleh untuk hari ini. Nafas berat kuhembuskan dan kututup kembali catatanku sebelum memutuskan untuk kembali ke kantor.

Part 4

“Ini hasil X-ray tangan kirinya. Kau lihat bagian ini?” Gred menunjuk ke foto rontgen sebuah retakan tipis di bagian pergelangan tangan. Aku mengangguk.
“Retakan ini memang tak begitu serius bagi tulangnya, tapi bagi syaraf-syaraf yang melekat, bisa terjadi hal yang kompleks. Dan kau tahu, rasa sakitnya cukup membuat anak sekecil dia tersiksa.” lanjut Gred sambil mematikan lampu pembaca rontgen lalu membuka sebuah map merah di mejanya.
“Kira-kira butuh waktu sebulan agar gips di tangannya bisa dibuka, yah untung saja ini fraktura ringan.” Gred menyodorkan beberapa lembar foto berukuran 4x6. “Polisi menyuruh beberapa perawat jaga untuk mengambil gambar tangannya.”

Sembari menahan nafas aku mengamati foto-foto itu. Terlalu banyak luka sayatan di kedua telapak pucat itu. Mataku mengamati foto lain dan tak ada yang bisa kuucapkan ketika melihat ujung-ujung jemari tangan yang kulitnya terkelupas bahkan ada kuku jari manis yang terkelupas dalam.
“Ia menggigit jemarinya sendiri?” tanyaku sambil mengamati foto jemari lentik dengan kuku yang masing-masing tidak rata. Gred bersandar pada kursinya sambil mengangguk.
Self Harm. Hanya ketika ketakutan ia melakukannya. Kau tau, sebagai wujud rasa depresi. Foto ini diambil dua jam setelah ia datang, saat ia terlelap tentunya.”

Aku membereskan dua belas lembar foto tadi dan memasukkan ke sebuah amplop coklat yang sudah jadi wadahnya. “Boleh kubawa?”
“Oh, ya. Untukmu saja, aku masih punya data digitalnya.”
“Thanks.” kataku sambil mengambil jaket kulit. “Aku harus ke tempat lain sekarang.” Aku menyodorkan tangan ke arah Gred. Ia mengambil tanganku seperti hendak bermain panco dan meremasnya. “Jangan segan-segan jiga kau butuh bantuan, deal?”
“Kalau begitu terus kabari aku mengenai kemajuannya.”
“Tak masalah buatku.” Gred mengantar sampai depan pintu ruangan. Aku berjalan mundur menjauhinya. “Oh ya, sampaikan salamku untuk Tim dan Susan.”
“Well, Susan menyuruhku untuk mengundangmu makan malam. Dasar gadis. Semoga ia tidak tergila-gila padamu.” sahut Gred.

Aku hanya tersenyum kemudian berbalik meninggalkan Gred menuju sebuah elevator. Di dalam elevator sepi aku bergumam sendiri, menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi pada klienku, Reff.
“Tangan kiri patah, beberapa luka sayat, bekas gigitan di jemari. Kasus penyiksaan anak? Kalau begitu siapa pelakunya?”

‘TING!’ Suara pertanda elevator berhenti membuyarkan analisisku. Aku berjalan meninggalkan gedung angkuh ini sambil menjinjing jaket kulit dan sebuah amplop di tangan kiri. Keringat langsung mengucur dari keningku ketika sampai di depan chevrolet perak yang kuparkir di bawah pohon rindang. Sungguh, cuaca sangat tak bersahabat. Kuputuskan untuk segera masuk ke mobil dan menuju tempat selanjutnya.

Selasa, 29 Juni 2010

Part 3

Gred membawaku ke sebuah bangsal. Ia berhenti ketika sampai di sebuah pintu putih ke lima dari pintu masuk bangsal tadi. Matanya memandang ke arah kaca yang dipasang di pintu untuk melihat ke dalam ruangan.
“Syukurlah ia sedang tidur.” katanya. Aku mengintip dari balik bahunya yang lebar.
“Boleh kita masuk?”
“Asal tak sampai membuatnya terbangun.” Gred memutar kenop dan membuka pintu itu.

Kini aku berada di sebuah ruangan yang mirip kamar anak-anak normal. Dindingnya diberi wallpaper langit biru lengkap dengan gumpalan awan. Di sudut kamar, terdapat sebuah kotak besar yang aku yakin isinya adalah bermacam mainan. Aku melangkah ke arah lemari buku berkaca di samping pintu, ada banyak buku cerita bergambar tersusun rapi di dalamnya.

Dan disanalah anak itu tertidur pulas, di ranjang yang sekarang tepat semeter dari aku berdiri. Kakiku berjalan mendekat dan mengamatinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Posisi tidurnya setengah tengkurap dengan wajah yang tertutup oleh rambut acak-acakan. Badannya terlihat ringkih dan jemari pucatnya menyembul di antara piama berlengan panjang yang kebesaran. Sungguh, anak ini terlalu manis untuk menjadi seorang saksi pembunuhan orangtuanya.

“Matanya sembab” kataku sambil menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.
“Kurasa ia terus-terusan menangis hingga akhirnya lelah dan tertidur. Kau bisa lihat dari posisi tidurnya yang tak sengaja itu.”
Aku mengangguk setuju pada pernyataan Gred. Kini kuamati jemarinya yang pucat untuk menemukan apa yang ditulis dalam berkasku tadi.
“Oh, kurasa lebih baik kau tidak menyentuh tangannya.” tegur Gred saat tanganku nyaris menjamah jemari pucat itu. Aku mengerutkan kening sambil menanyakan alasannya. Gred hanya menghembuskan nafas berat, seakan sukar untuk menjawab pertanyaanku. Ia menghampiriku dan mengelus pipi bocah itu sambil berkata,
“Tangannya penuh luka.”

Kamis, 17 Juni 2010

Part 2

“Masih membaca kasus itu?” Seseorang menyandarkan tangannya ke pundakku. Aku mendongak dan mendapati wanita berambut hitam yang beberapa jam lalu membagi-bagikan map.
“Menurutmu aku terlihat sedang apa, Sab?”
Wanita muda berparas oriental ini terkekeh. Ia menepuk keras pundakku. “Waktunya makan siang, sampai kapan kau mau membaca kasus mengerikan itu?”
“Mengerikan? Kau sudah membacanya?”

Sab terlihat terkejut, kedua mata sipitnya tiba-tiba membulat. “Ayolah, Treo. Jangan bilang kau tak lihat televisi akhir-akhir ini! Kasusnya sudah banyak dipublikasikan di media massa, Pembunuhan Keluarga Pengusaha.”
Aku menelengkan kepala. “Ya, rasanya memang ada berita seperti itu, aku tak terlalu menyimak.”
Wanita berkemeja biru ini mendesah malas. “Dasar kutu buku, dari dulu tak berubah! Ayo, kau mau makan siang atau tidak?”
Aku menggelengkan kepala. “Aku akan pergi ke tempat lain—” Jemariku sibuk mencari kunci mobil yang tertimbun tumpukan berkas. “—ke Rumah Sakit misalnya.”
Sab terlihat bingung, tapi setelah melihat map yang kubawa, ia hanya tersenyum. “OK. Hati-hatilah, kalau sempat bawakan dokter tampan untukku.”
Aku hanya tersenyum lebar sebelum meninggalkannya.

Gedung putih itu seakan memandang angkuh. Tubuhnya yang dilapisi kaca terlihat semakin anggun karena sengatan matahari, menyilaukan setiap mata yang memandang langsung ke arahnya. Aku turun dari mobil dan berjalan tergesa, menyeberang jalanan terik sejauh seratus meter untuk menghampirinya.

Udara sejuk dari pendingin ruangan langsung memanjakanku seusai melewati pintu kaca otomatis. Kulangkahkan kaki pada seorang petugas administrasi di meja pendaftaran, memastikan bahwa orang yang ingin kutemui masih ada di ruangannya atau setidaknya ada di gedung ini. Sengaja aku tak menelepon dan bertanya pada orangnya langsung, aku ingin memberi kejutan sedikit pada sahabat lama. Petugas wanita itu segera menunjukkan ruangan dr. Greduard Morgan, seorang pria Amerika yang nyaris seusia ayahku.

“Masuk.” sahut suara berat dari balik pintu yang kuketuk. Perlahan kuputar kenop pintu dan mendapatinya sibuk membaca sebuah laporan. Kedua mata coklatnya langsung memandang dari balik kacamata ke arahku.
“Treo! Hei, kemana saja kau?!” Gred segera melepas kacamatanya. Ia terlihat senang melihatku setelah tiga bulan tak bertemu.
“Hanya mencari tempat yang layak untuk para klien.” sahutku sambil meletakkan jaket kulit di sandaran kursi. Gred hanya tertawa, ia menjabat erat tanganku.
“Kau beruntung. Lihat saja aku, kulitku semakin keriput karena terjebak di ruangan ini setiap hari!”

Kali ini giliranku yang tertawa ketika ia menunjukkan kulit tangannya yang memang sudah keriput sejak awal kami bekerja sama.
“Oh, ada angin apa kau kemari? Tunggu, jangan bilang kau yang menangani kasus Reffain Sarchuler?” ujarnya menghentikan tawaku. Aku tersenyum sambil menaikkan kedua bahu. Ia tertawa memandangku. “Kebetulan, hah?” lanjutnya.
“Entahlah. Kalau begitu bagaimana keadaannya sekarang?”
Gred mengalihkan pandangan dan menggeleng. Tawa di wajahnya langsung sirna ketika ia mempersilahkan aku duduk. “Belum menunjukkan kemajuan.” Ia mencari suatu map dan memberikannya padaku. “Tak bersuara, terlihat trauma..dan histeris.”
“Tampak buruk.” Aku membaca laporan kesehatan itu. Bisakah aku melihatnya?”
“Tentu, kuharap ia tidak histeris melihatmu.”

Dengan sedikit ragu aku mengikuti Gred meninggalkan ruangannya. Kami berjalan ke arah elevator yang kebetulan sedang terbuka.
“Apa dia saksi utama?” tanya Gred.
Aku mengangguk. “Awalnya seorang tetangga seberang melihat dua orang lelaki asing masuk ke pekarangan rumah dan menghilang di kebun belakang dua jam sebelum berita pembunuhan. Tiga hari setelah itu, saksi ditemukan tewas saat pulang dari kantor. Ada yang menabraknya dengan SUV hitam.”
“Wow, tampaknya ini bukan pembunuhan biasa.”
“Ya, menurutku juga begitu. Dena Sarchuler minta permohonan untuk perlindungan saksi dan korban.”
“Mereka tak ada keluarga disini?”
“Tak ada. Mereka pendatang dari Austria.”
Gred memandangku sambil melewati pintu elevator yang sudah terbuka. “Well, banyak pihak yang akan terlibat di kasus ini.”
“Yah..mungkin..” jawabku sambil menaikkan bahu. Dalam hati aku berharap tidak.

Rabu, 09 Juni 2010

Part 1

Saat ini pukul satu siang dan cuaca terlihat panas di luar sana. Para wanita yang mengenakan payung walau tak ada rintik hujan itu yang memberitahuku. Aku hanya termenung memandang hiruk pikuk mereka yang terlihat seperti barisan semut rusak dari jendela kantor.

"Hei, menu barumu.” bisik seseorang yang membuat pandanganku teralih. Suara itu milik seorang wanita berambut hitam yang sedang menyodorkan sebuah map ke wajahku. Aku segera mengambil map biru tebal di tangannya.
“Ya ampun, baru saja selesai dua kasus.”
“Sudah, tak perlu protes. Kau sudah digaji untuk ini, kan?” balas wanita itu sambil meringis. Aku tertawa kecil sambil membuka map tersebut dan memandang sebuah foto di baliknya. “Gadis kecil?” tanyaku.

Wanita itu segera tersenyum lebar dan tertawa. Refleks, aku memasang wajah heran melihat tingkahnya. “Kau orang ketiga yang tertipu!” katanya.
“Hah?!” sergahku sambil memandang foto itu sekali lagi.
“Ya, sudahlah, baca saja arsipnya.” Ekspresinya berubah menjadi khawatir ketika melihat sinar matahari yang menyengat dari jendela di samping mejaku.
“Matahari makin ganas saja, hah, mengapa dunia semakin aneh begini?” ujarnya sebelum melengos pergi membawa tiga map yang berbentuk sama dengan milikku. Aku hanya mengangkat bahu dan menghela nafas berat sebelum mulai menelusuri riwayat bocah ini.

Ok, lembar pertama adalah sebuah foto close up berukuran potrait 3x4 R. Aku memandang dengan cermat pada foto ini, dari sudut manapun juga, anak yang ada di foto ini terlihat manis. Rambut hitam lurus shaggy sebahu dipadu dengan wajah khas Eropa yang tidak tersenyum membuat kesan misterius yang anggun. Terutama yang membuatku langsung mengatakan ia perempuan adalah kedua mata biru terangnya yang dilindungi oleh bulu mata lebat. Setelah yakin mengingat wajahnya, aku mulai membaca riwayat bocah tersebut.

Reffain Marta Sarchuler. Anak bungsu dari pasangan Marcus Sarchuler dan Marta Endle. Lahir di Wina, 31 Desember 2000. Mempunyai satu saudari kandung, Dena Sarchuler yang lahir di Wina, 3 Januari 1989. Reffain adalah saksi tunggal pembunuhan orangtuanya di Phoenix Street 24 pada tanggal 9 Januari 2011. Motif dan pelaku sedang dalam tahap penyelidikan.
"Kejadian seminggu yang lalu." gumamku.

Aku membaca lembar berikutnya. Tertera serangkaian penjelasan mengenai penyebab terbunuhnya pasangan dari Austria tersebut. Dengan gusar aku membaca sambil membayangkan perasaan seorang bocah yang baru lewat sepuluh tahun, melihat perbuatan keji itu dengan kedua matanya sendiri.

Marta Endle dan Marcus Sarchuler terbunuh dengan luka parah yang sama. Mata kiri hancur akibat kaliber 40 yang menembus sampai keluar tengkorak belakang.

Aku membalik lembar lain, melewat bagian mengerikan itu. Kini aku membaca sebuah profil seorang wanita muda bermata biru, Dena Sarchuler. Dari fotonya, kesan wanita ini tak jauh dari kesan adiknya, anggun dan misterius. Aku membaca profilnya dan terkesima sendiri.

Dena Sarchuler lulus SMA saat berusia empat belas tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Tinggi Musik Wina dan lulus pada usia tujuh belas tahun. Sekarang ia menjadi dosen di Sekolah Tinggi tersebut dan beberapa kali mengadakan konser lokal dengan partitur ciptaannya sendiri.

Aku menggeleng gemas. Otak macam apa yang ia punya?