Rabu, 15 September 2010

Part 8

Sambil menunggu lampu hijau menyala, kusempatkan untuk membuka map yang belum kupelajari. Aku melihat foto klienku yang terselip rapi dan berpikir sungguh malang nasibnya. Dua tahun berkarir, tapi baru kali ini aku menangani seorang anak laki-laki. Berusia dibawah lima belas tahun.

Drrt! Drrt! Drrt! Ponselku bergetar saat lampu merah sudah berganti. Aku mengangkatnya ketika melihat nama Gred di LCD.

“Ya, Gred”
“Treo, kau harus ke kantorku sekarang.”
“Hei, ada apa?”
“Sesuatu terjadi pada Reff, akan kujelaskan ketika kau sampai.”
“Ok, aku segera kesana.” Aku mematikan ponsel dan berbalik arah. Jalanan sepi malam ini.

Tak makan waktu banyak untuk sampai di Rumah Sakit Anak tempat Reff menjalani terapi. Namun tetap saja, aku berjalan sambil berlari meninggalkan parkiran gedung angkuh itu.

“Gred” ujarku sambil membuka pintu kantornya tanpa permisi. Pria paruh baya itu sedang memeriksa suatu map ketika aku muncul di kantornya.

“Oh, kau sudah datang.” Ia meletakkan map itu dan berjalan menghampiriku. “Kau harus melihat apa yang ia lakukan setengah jam yang lalu. Ikut aku.”

“Apa dia histeris lagi?”

Gred menggeleng sambil menutup pintu kantornya, “Tidak. Entahlah, ia seperti membuat suatu pesan.”

“Pesan apa? Dimana ia sekarang?”

Gred memandangku dengan raut wajah serius, “Kau harus melihat kamarnya. Sekarang ia dirawat sementara di ruang lain.”

Aku merasa ada hal tak wajar telah terjadi, melihat Gred terdiam selama kami berjalan ke kamar tempat Reff dirawat. Gred membuka pintu kamar Reff dan firasatku semakin tak enak ketika kamar itu kosong. Sebagai gantinya, mataku melihat suatu tulisan yang hampir memenuhi tembok dari crayon merah, terpampang di dinding sebelah ranjang. Aku mencoba membaca tulisan-tulisan panjang yang ditulis dengan huruf kapital itu dan tak mempercayai mataku.

J P A S A V I G B E M Y S I O L R S T C D N E R S L A—

“Apa ini?” Aku berjongkok untuk melihat keseluruhan kalimat yang tak beraturan itu.
“Baca akhirnya.” ujar Gred. Aku menurut dan seketika menyesal membacanya.

—S I Q Z A V E Y U L H O C T F U R S E J E R L F.
T R EO

Selasa, 03 Agustus 2010

Part 7

Seperti biasa, hal pertama yang aku lakukan sesampai di apartemen adalah menyalakan AC dengan derajat paling rendah. Aku tak peduli walaupun apartemen sederhanaku akan menjadi lemari pendingin. Toh aku sudah melakukannya tiap hari sejak musim panas berlangsung dan tak terjadi apapun dengan suhu apartemenku. Kuletakkan tas kerja dan beberapa berkas di atas meja.

Apartemenku agak jauh dengan kantor polisi, sehingga mau tak mau aku harus berangkat sejam sebelum waktu yang ditentukan untuk menghindari kemacetan karena jam pulang kantor. Kulirik jam dinding persegi di ruang tamu dan melengos.
Bagus, sekarang sudah jam setengah enam petang. gumamku sambil membuka jaket dan masuk ke dalam kamar mandi, menyegarkan diriku sejenak di tengah panasnya kehidupan.

Lima menit sebelum jam enam aku keluar dari apartemen dan menuju basement tempatku memarkir mobil. Suasana menjadi berbeda ketika kulajukan mobil keluar dari basement, hari sudah gelap, pemandangan semarak dengan lampu disana-sini. Kemacetan sudah mulai terlihat, kuputuskan untuk melajukan mobil secepatnya namun masih mematuhi etika berkendara.

Kantor Polisi Arporiett, 100 meter.

Aku membaca papan penunjuk jalan dan berbelok ke arah jalan yang ditunjuk. Kulirik jam di dashboard mobil, 06.53 p.m. Semoga aku tepat waktu karena aku masih harus menemukan Kedai Kopi yang dimaksud detektif itu. Setelah melewati kantor polisi, lima detik kemudian aku melihat papan bertuliskan ‘Kedai Kopi Rain’. Ternyata kedai kopi itu benar-benar di samping kantor polisi. Aku parkir di samping trotoar karena kedai itu tepat di samping jalan besar, tak ada lahan parkir khusus disana.

Dengan ragu aku melangkah masuk. Seingatku, ketika terakhir kali aku ke kantor polisi, kedai ini masih sebuah rumah kecil tua yang tak terurus. Yah, tiga bulan cukup membuat banyak perubahan di kota kecil ini. Aku melangkah ke meja pemesanan, seorang wanita muda sedang melayani pelanggan pria dan wanita berseragam.

“Selamat malam. Mau pesan apa?” sapanya ketika tiba giliranku. Aku melirik ke daftar menu yang digantung di langit-langit.
“Cappucino hangat.” balasku.

Aku mengeluarkan beberapa lembar koin dan membayar pesananku. “Kau tahu seorang detektif bernama Mills Jeroem?” tanyaku ke alasan utama mengapa aku memesan.
“Oh, si tampan itu. Ia belum da— Ah, itu dia!” Pelayan berambut pirang ini menunjuk ke arah lelaki yang baru masuk ke kedai. Aku tak percaya ketika melihatnya, detektif ini jauh dari perkiraanku bila mendengar suara berwibawanya di telepon. Badannya tegap dan tinggi, seratus delapan puluh sentimeter kukira. Wajahnya terlihat masih berusia awal tiga puluhan, berahang kokoh. Beda jauh dengan gambaran seorang detektif tua gendut saat meneleponku.
“Ini pesananmu, terima kasih.”
“Sama-sama.” balasku.

Aku berjalan menuju meja tempat ia duduk dan berdiri di depannya. Ia menyulut rokok sambil menatapku, curiga.

“Mills Jeroem?” tanyaku.
“Ya.”
“Saya Montreo Dinan.” Seketika lelaki itu mengamatiku lekat-lekat, mulai dari ujung rambut sampai ujung kakiku. Ia menghembuskan karbon dari bibirnya.
“Kau masih delapan belas tahun?”

Aku melengos, sudah kuduga pertanyaannya akan seperti itu, pertanyaan yang dilontarkan oleh dua puluh satu orang lainnya ketika baru bertemu denganku.
“Itu umur saya empat tahun lalu.” jawabku ramah. Ia terlihat terkejut namun segera dapat menguasai rasa ingin tahunya untuk bertanya apakah aku bercanda. Ia malah mempersilahkan aku duduk tanpa mengatakan apapun.

“Apa alasan anda bertemu dengan saya?” tanyaku langsung. Ia menghembuskan asap rokok lagi.
“Keadaan dari saksi sekaligus korban. Polisi tidak diperkenankan bolak-balik ke Rumah Sakit itu.”
“Oh, ya. Ia masih histeris. Menurut dr. Morgan, ia mengalami trauma serius. Kurasa sampai beberapa hari ke depan ia belum pulih.”
“Bagus. Dengan begitu kasus ini dianggap tak memiliki saksi.” Jeroem melonggarkan dasinya. “Untuk apa kau datang ke rumah Dena Sarchuler?”

Aku berdehem. Tidak mengejutkan bagiku bila ia sampai tahu kedatanganku. Pasti para polisi disana adalah unitnya.
“Saya hanya mengkonfirmasi pemohon perlindungan. Anda tahu, itu bagian dari prosedur.”
“Oh.”

Aku menatapnya masam. Nada bicaranya yang mengucapkan ‘Oh’ itu terdengar ambigu bagiku. Dan aku tidak begitu menyukainya.

Ponsel milik detektif bermata hazel itu berdering, mencairkan keheningan canggung. Ia mengatakan ‘ya’ berulangkali sebelum akhirnya mengatakan ‘aku segera kesana’ selama pembicaraan. Ia menatapku lama setelah menutup telepon.

“Sadar atau tidak, kasus pembunuhan tidak biasa bagi kota ini. Kepala Polisi Bagian Pembunuhan menyerahkan kasus ini padaku dan aku mau kau bekerjasama denganku. Jadi, selalu kabari aku mengenai keadaan saksi. Kau mengerti?”

Aku mengangguk, menyertai kepergiannya yang begitu tergesa.