Selasa, 29 Juni 2010

Part 3

Gred membawaku ke sebuah bangsal. Ia berhenti ketika sampai di sebuah pintu putih ke lima dari pintu masuk bangsal tadi. Matanya memandang ke arah kaca yang dipasang di pintu untuk melihat ke dalam ruangan.
“Syukurlah ia sedang tidur.” katanya. Aku mengintip dari balik bahunya yang lebar.
“Boleh kita masuk?”
“Asal tak sampai membuatnya terbangun.” Gred memutar kenop dan membuka pintu itu.

Kini aku berada di sebuah ruangan yang mirip kamar anak-anak normal. Dindingnya diberi wallpaper langit biru lengkap dengan gumpalan awan. Di sudut kamar, terdapat sebuah kotak besar yang aku yakin isinya adalah bermacam mainan. Aku melangkah ke arah lemari buku berkaca di samping pintu, ada banyak buku cerita bergambar tersusun rapi di dalamnya.

Dan disanalah anak itu tertidur pulas, di ranjang yang sekarang tepat semeter dari aku berdiri. Kakiku berjalan mendekat dan mengamatinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Posisi tidurnya setengah tengkurap dengan wajah yang tertutup oleh rambut acak-acakan. Badannya terlihat ringkih dan jemari pucatnya menyembul di antara piama berlengan panjang yang kebesaran. Sungguh, anak ini terlalu manis untuk menjadi seorang saksi pembunuhan orangtuanya.

“Matanya sembab” kataku sambil menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.
“Kurasa ia terus-terusan menangis hingga akhirnya lelah dan tertidur. Kau bisa lihat dari posisi tidurnya yang tak sengaja itu.”
Aku mengangguk setuju pada pernyataan Gred. Kini kuamati jemarinya yang pucat untuk menemukan apa yang ditulis dalam berkasku tadi.
“Oh, kurasa lebih baik kau tidak menyentuh tangannya.” tegur Gred saat tanganku nyaris menjamah jemari pucat itu. Aku mengerutkan kening sambil menanyakan alasannya. Gred hanya menghembuskan nafas berat, seakan sukar untuk menjawab pertanyaanku. Ia menghampiriku dan mengelus pipi bocah itu sambil berkata,
“Tangannya penuh luka.”

Kamis, 17 Juni 2010

Part 2

“Masih membaca kasus itu?” Seseorang menyandarkan tangannya ke pundakku. Aku mendongak dan mendapati wanita berambut hitam yang beberapa jam lalu membagi-bagikan map.
“Menurutmu aku terlihat sedang apa, Sab?”
Wanita muda berparas oriental ini terkekeh. Ia menepuk keras pundakku. “Waktunya makan siang, sampai kapan kau mau membaca kasus mengerikan itu?”
“Mengerikan? Kau sudah membacanya?”

Sab terlihat terkejut, kedua mata sipitnya tiba-tiba membulat. “Ayolah, Treo. Jangan bilang kau tak lihat televisi akhir-akhir ini! Kasusnya sudah banyak dipublikasikan di media massa, Pembunuhan Keluarga Pengusaha.”
Aku menelengkan kepala. “Ya, rasanya memang ada berita seperti itu, aku tak terlalu menyimak.”
Wanita berkemeja biru ini mendesah malas. “Dasar kutu buku, dari dulu tak berubah! Ayo, kau mau makan siang atau tidak?”
Aku menggelengkan kepala. “Aku akan pergi ke tempat lain—” Jemariku sibuk mencari kunci mobil yang tertimbun tumpukan berkas. “—ke Rumah Sakit misalnya.”
Sab terlihat bingung, tapi setelah melihat map yang kubawa, ia hanya tersenyum. “OK. Hati-hatilah, kalau sempat bawakan dokter tampan untukku.”
Aku hanya tersenyum lebar sebelum meninggalkannya.

Gedung putih itu seakan memandang angkuh. Tubuhnya yang dilapisi kaca terlihat semakin anggun karena sengatan matahari, menyilaukan setiap mata yang memandang langsung ke arahnya. Aku turun dari mobil dan berjalan tergesa, menyeberang jalanan terik sejauh seratus meter untuk menghampirinya.

Udara sejuk dari pendingin ruangan langsung memanjakanku seusai melewati pintu kaca otomatis. Kulangkahkan kaki pada seorang petugas administrasi di meja pendaftaran, memastikan bahwa orang yang ingin kutemui masih ada di ruangannya atau setidaknya ada di gedung ini. Sengaja aku tak menelepon dan bertanya pada orangnya langsung, aku ingin memberi kejutan sedikit pada sahabat lama. Petugas wanita itu segera menunjukkan ruangan dr. Greduard Morgan, seorang pria Amerika yang nyaris seusia ayahku.

“Masuk.” sahut suara berat dari balik pintu yang kuketuk. Perlahan kuputar kenop pintu dan mendapatinya sibuk membaca sebuah laporan. Kedua mata coklatnya langsung memandang dari balik kacamata ke arahku.
“Treo! Hei, kemana saja kau?!” Gred segera melepas kacamatanya. Ia terlihat senang melihatku setelah tiga bulan tak bertemu.
“Hanya mencari tempat yang layak untuk para klien.” sahutku sambil meletakkan jaket kulit di sandaran kursi. Gred hanya tertawa, ia menjabat erat tanganku.
“Kau beruntung. Lihat saja aku, kulitku semakin keriput karena terjebak di ruangan ini setiap hari!”

Kali ini giliranku yang tertawa ketika ia menunjukkan kulit tangannya yang memang sudah keriput sejak awal kami bekerja sama.
“Oh, ada angin apa kau kemari? Tunggu, jangan bilang kau yang menangani kasus Reffain Sarchuler?” ujarnya menghentikan tawaku. Aku tersenyum sambil menaikkan kedua bahu. Ia tertawa memandangku. “Kebetulan, hah?” lanjutnya.
“Entahlah. Kalau begitu bagaimana keadaannya sekarang?”
Gred mengalihkan pandangan dan menggeleng. Tawa di wajahnya langsung sirna ketika ia mempersilahkan aku duduk. “Belum menunjukkan kemajuan.” Ia mencari suatu map dan memberikannya padaku. “Tak bersuara, terlihat trauma..dan histeris.”
“Tampak buruk.” Aku membaca laporan kesehatan itu. Bisakah aku melihatnya?”
“Tentu, kuharap ia tidak histeris melihatmu.”

Dengan sedikit ragu aku mengikuti Gred meninggalkan ruangannya. Kami berjalan ke arah elevator yang kebetulan sedang terbuka.
“Apa dia saksi utama?” tanya Gred.
Aku mengangguk. “Awalnya seorang tetangga seberang melihat dua orang lelaki asing masuk ke pekarangan rumah dan menghilang di kebun belakang dua jam sebelum berita pembunuhan. Tiga hari setelah itu, saksi ditemukan tewas saat pulang dari kantor. Ada yang menabraknya dengan SUV hitam.”
“Wow, tampaknya ini bukan pembunuhan biasa.”
“Ya, menurutku juga begitu. Dena Sarchuler minta permohonan untuk perlindungan saksi dan korban.”
“Mereka tak ada keluarga disini?”
“Tak ada. Mereka pendatang dari Austria.”
Gred memandangku sambil melewati pintu elevator yang sudah terbuka. “Well, banyak pihak yang akan terlibat di kasus ini.”
“Yah..mungkin..” jawabku sambil menaikkan bahu. Dalam hati aku berharap tidak.

Rabu, 09 Juni 2010

Part 1

Saat ini pukul satu siang dan cuaca terlihat panas di luar sana. Para wanita yang mengenakan payung walau tak ada rintik hujan itu yang memberitahuku. Aku hanya termenung memandang hiruk pikuk mereka yang terlihat seperti barisan semut rusak dari jendela kantor.

"Hei, menu barumu.” bisik seseorang yang membuat pandanganku teralih. Suara itu milik seorang wanita berambut hitam yang sedang menyodorkan sebuah map ke wajahku. Aku segera mengambil map biru tebal di tangannya.
“Ya ampun, baru saja selesai dua kasus.”
“Sudah, tak perlu protes. Kau sudah digaji untuk ini, kan?” balas wanita itu sambil meringis. Aku tertawa kecil sambil membuka map tersebut dan memandang sebuah foto di baliknya. “Gadis kecil?” tanyaku.

Wanita itu segera tersenyum lebar dan tertawa. Refleks, aku memasang wajah heran melihat tingkahnya. “Kau orang ketiga yang tertipu!” katanya.
“Hah?!” sergahku sambil memandang foto itu sekali lagi.
“Ya, sudahlah, baca saja arsipnya.” Ekspresinya berubah menjadi khawatir ketika melihat sinar matahari yang menyengat dari jendela di samping mejaku.
“Matahari makin ganas saja, hah, mengapa dunia semakin aneh begini?” ujarnya sebelum melengos pergi membawa tiga map yang berbentuk sama dengan milikku. Aku hanya mengangkat bahu dan menghela nafas berat sebelum mulai menelusuri riwayat bocah ini.

Ok, lembar pertama adalah sebuah foto close up berukuran potrait 3x4 R. Aku memandang dengan cermat pada foto ini, dari sudut manapun juga, anak yang ada di foto ini terlihat manis. Rambut hitam lurus shaggy sebahu dipadu dengan wajah khas Eropa yang tidak tersenyum membuat kesan misterius yang anggun. Terutama yang membuatku langsung mengatakan ia perempuan adalah kedua mata biru terangnya yang dilindungi oleh bulu mata lebat. Setelah yakin mengingat wajahnya, aku mulai membaca riwayat bocah tersebut.

Reffain Marta Sarchuler. Anak bungsu dari pasangan Marcus Sarchuler dan Marta Endle. Lahir di Wina, 31 Desember 2000. Mempunyai satu saudari kandung, Dena Sarchuler yang lahir di Wina, 3 Januari 1989. Reffain adalah saksi tunggal pembunuhan orangtuanya di Phoenix Street 24 pada tanggal 9 Januari 2011. Motif dan pelaku sedang dalam tahap penyelidikan.
"Kejadian seminggu yang lalu." gumamku.

Aku membaca lembar berikutnya. Tertera serangkaian penjelasan mengenai penyebab terbunuhnya pasangan dari Austria tersebut. Dengan gusar aku membaca sambil membayangkan perasaan seorang bocah yang baru lewat sepuluh tahun, melihat perbuatan keji itu dengan kedua matanya sendiri.

Marta Endle dan Marcus Sarchuler terbunuh dengan luka parah yang sama. Mata kiri hancur akibat kaliber 40 yang menembus sampai keluar tengkorak belakang.

Aku membalik lembar lain, melewat bagian mengerikan itu. Kini aku membaca sebuah profil seorang wanita muda bermata biru, Dena Sarchuler. Dari fotonya, kesan wanita ini tak jauh dari kesan adiknya, anggun dan misterius. Aku membaca profilnya dan terkesima sendiri.

Dena Sarchuler lulus SMA saat berusia empat belas tahun. Setelah itu ia melanjutkan ke Sekolah Tinggi Musik Wina dan lulus pada usia tujuh belas tahun. Sekarang ia menjadi dosen di Sekolah Tinggi tersebut dan beberapa kali mengadakan konser lokal dengan partitur ciptaannya sendiri.

Aku menggeleng gemas. Otak macam apa yang ia punya?