Gred membawaku ke sebuah bangsal. Ia berhenti ketika sampai di sebuah pintu putih ke lima dari pintu masuk bangsal tadi. Matanya memandang ke arah kaca yang dipasang di pintu untuk melihat ke dalam ruangan.
“Syukurlah ia sedang tidur.” katanya. Aku mengintip dari balik bahunya yang lebar.
“Boleh kita masuk?”
“Asal tak sampai membuatnya terbangun.” Gred memutar kenop dan membuka pintu itu.
Kini aku berada di sebuah ruangan yang mirip kamar anak-anak normal. Dindingnya diberi wallpaper langit biru lengkap dengan gumpalan awan. Di sudut kamar, terdapat sebuah kotak besar yang aku yakin isinya adalah bermacam mainan. Aku melangkah ke arah lemari buku berkaca di samping pintu, ada banyak buku cerita bergambar tersusun rapi di dalamnya.
Dan disanalah anak itu tertidur pulas, di ranjang yang sekarang tepat semeter dari aku berdiri. Kakiku berjalan mendekat dan mengamatinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Posisi tidurnya setengah tengkurap dengan wajah yang tertutup oleh rambut acak-acakan. Badannya terlihat ringkih dan jemari pucatnya menyembul di antara piama berlengan panjang yang kebesaran. Sungguh, anak ini terlalu manis untuk menjadi seorang saksi pembunuhan orangtuanya.
“Matanya sembab” kataku sambil menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.
“Kurasa ia terus-terusan menangis hingga akhirnya lelah dan tertidur. Kau bisa lihat dari posisi tidurnya yang tak sengaja itu.”
Aku mengangguk setuju pada pernyataan Gred. Kini kuamati jemarinya yang pucat untuk menemukan apa yang ditulis dalam berkasku tadi.
“Oh, kurasa lebih baik kau tidak menyentuh tangannya.” tegur Gred saat tanganku nyaris menjamah jemari pucat itu. Aku mengerutkan kening sambil menanyakan alasannya. Gred hanya menghembuskan nafas berat, seakan sukar untuk menjawab pertanyaanku. Ia menghampiriku dan mengelus pipi bocah itu sambil berkata,
“Tangannya penuh luka.”
“Syukurlah ia sedang tidur.” katanya. Aku mengintip dari balik bahunya yang lebar.
“Boleh kita masuk?”
“Asal tak sampai membuatnya terbangun.” Gred memutar kenop dan membuka pintu itu.
Kini aku berada di sebuah ruangan yang mirip kamar anak-anak normal. Dindingnya diberi wallpaper langit biru lengkap dengan gumpalan awan. Di sudut kamar, terdapat sebuah kotak besar yang aku yakin isinya adalah bermacam mainan. Aku melangkah ke arah lemari buku berkaca di samping pintu, ada banyak buku cerita bergambar tersusun rapi di dalamnya.
Dan disanalah anak itu tertidur pulas, di ranjang yang sekarang tepat semeter dari aku berdiri. Kakiku berjalan mendekat dan mengamatinya dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Posisi tidurnya setengah tengkurap dengan wajah yang tertutup oleh rambut acak-acakan. Badannya terlihat ringkih dan jemari pucatnya menyembul di antara piama berlengan panjang yang kebesaran. Sungguh, anak ini terlalu manis untuk menjadi seorang saksi pembunuhan orangtuanya.
“Matanya sembab” kataku sambil menyingkirkan beberapa helai rambut yang menutupi wajahnya.
“Kurasa ia terus-terusan menangis hingga akhirnya lelah dan tertidur. Kau bisa lihat dari posisi tidurnya yang tak sengaja itu.”
Aku mengangguk setuju pada pernyataan Gred. Kini kuamati jemarinya yang pucat untuk menemukan apa yang ditulis dalam berkasku tadi.
“Oh, kurasa lebih baik kau tidak menyentuh tangannya.” tegur Gred saat tanganku nyaris menjamah jemari pucat itu. Aku mengerutkan kening sambil menanyakan alasannya. Gred hanya menghembuskan nafas berat, seakan sukar untuk menjawab pertanyaanku. Ia menghampiriku dan mengelus pipi bocah itu sambil berkata,
“Tangannya penuh luka.”